Pekanbaru – Keberhasilan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp1,130 triliun pada tahun 2025 menuai apresiasi dari Komisi II DPRD Pekanbaru. Namun capaian tersebut justru memicu sorotan tajam dari kalangan mahasiswa yang menilai lonjakan PAD ini membuka dugaan serius adanya kebocoran dan potensi korupsi pajak selama bertahun-tahun.
Anggota Komisi II DPRD Pekanbaru, Syamsul Bahri, menyebut capaian tersebut sebagai prestasi luar biasa karena untuk pertama kalinya PAD Kota Pekanbaru menembus angka Rp1 triliun, jauh di atas realisasi tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar Rp600 hingga Rp850 miliar.
“Ini prestasi luar biasa. Target PAD Rp1,185 triliun dan tinggal sekitar Rp30 miliar lagi. Kita yakin bisa tercapai,” ujar Syamsul Bahri, Jumat (19/12/2025).
Namun, mahasiswa menilai lonjakan PAD secara drastis ini justru menjadi alarm keras atas dugaan kebocoran penerimaan daerah di masa lalu.
Dedi, mahasiswa di Pekanbaru, menyebut bahwa selisih PAD sebesar Rp300–500 miliar per tahun dibandingkan capaian 2025 tidak bisa dianggap wajar jika terjadi secara berulang dalam waktu lama.
“Kalau selisih itu kita hitung minimal 8 sampai 10 tahun terakhir, maka potensi PAD yang tidak masuk kas daerah bisa mencapai Rp3 hingga Rp5 triliun. Ini sudah masuk kategori dugaan korupsi penerimaan daerah yang sangat serius,” tegas Dedi.
Dugaan Pajak Dipungut tapi Tidak Disetor ke PAD
Menurut Dedi, lonjakan PAD tahun 2025 menjadi indikasi kuat bahwa selama ini pajak daerah bukan tidak ada, tetapi diduga tidak seluruhnya disetor menjadi PAD. Ia menilai praktik tersebut sangat mungkin terjadi melalui manipulasi laporan dan permainan setoran pajak.
“Pajak dipungut dari masyarakat dan pelaku usaha, tapi diduga tidak semuanya masuk ke kas daerah. Modusnya bisa lewat manipulasi data omzet, rekayasa laporan pajak terutang, permainan piutang pajak, hingga dugaan kongkalikong antara wajib pajak dan oknum aparat pemungut,” ujarnya.
Ia menyoroti sektor-sektor yang selama ini dikenal rawan kebocoran, seperti pajak restoran, hotel, parkir, reklame, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), serta Pajak Air Tanah.
“Kalau sekarang bisa ditarik maksimal, artinya dulu ada yang tidak beres. Tidak mungkin potensi pajak tiba-tiba muncul di 2025 saja,” katanya.
Dedi juga menyinggung pernyataan Pemko Pekanbaru yang kini fokus mengejar piutang PBB bernilai besar. Menurutnya, menumpuknya piutang pajak selama bertahun-tahun bukan sekadar masalah administrasi.
“Piutang pajak yang dibiarkan bertahun-tahun adalah pintu masuk praktik permainan. Ini mengarah pada dugaan pembiaran sistemik yang berpotensi merugikan keuangan daerah,” ujarnya.
Ia menilai jika pajak sudah ditetapkan tetapi tidak disetor, atau sengaja ditahan melalui manipulasi data, maka hal tersebut berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Mahasiswa Desak APH
Atas dasar itu, Dedi mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Riau atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan mengusut dugaan korupsi pajak daerah di Pekanbaru.
“Kami minta Jaksa Pidsus Kejati Riau dan KPK segera melakukan penyelidikan. Audit penerimaan pajak harus dibuka minimal 10 tahun ke belakang,” tegasnya.
Menurutnya, capaian PAD 2025 justru harus dijadikan pintu masuk penegakan hukum, bukan sekadar bahan pencitraan.
“Kalau benar dugaan ini, maka yang dirugikan adalah rakyat Pekanbaru. Uang triliunan rupiah yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur diduga tidak masuk ke daerah,” kata Dedi.
Ia menegaskan, transparansi total data pajak dan penindakan tegas terhadap oknum yang diduga bermain adalah keharusan.
“Prestasi PAD hari ini jangan sampai menjadi tirai penutup dugaan korupsi masa lalu. Kalau aparat penegak hukum diam, kecurigaan publik akan semakin besar,” pungkasnya. (rls)
#Skandal Pajak Pekanbaru #Pajak Kota Pekanbaru