PEKANBARU, WARTARAKYAT - Aroma busuk skandal keuangan kian tajam tercium dari tubuh Bank Riau Kepri (BRK) Syariah. Lembaga keuangan daerah yang digadang-gadang sebagai ikon transformasi ekonomi syariah itu kini terseret dugaan manipulasi pinjaman Rp 2 triliun ke Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) dengan bunga mencengangkan 7,5%, jauh di atas batas wajar 4,25% yang diatur oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Akibat keputusan yang dinilai tidak rasional itu, BRK kini harus membayar bunga hingga Rp 15 miliar setiap bulan. Tak hanya itu, sumber internal mengungkap bahwa kerugian BRK membengkak pula dari sisi biaya cash in safe, karena sebagian besar dana pinjaman justru mengendap di brankas dan tidak produktif.
“Dana besar itu tidak berputar, hanya disimpan. Akhirnya, bunga jalan terus, sementara biaya penyimpanan juga melonjak. Ini bukan sekadar salah kelola, tapi permainan yang sistematis,” ungkap seorang sumber di internal BRK.
Dua Direksi di Balik Skema Pinjaman
Informasi yang beredar di internal BRK menyebut, inisiatif pinjaman Rp 2 triliun itu diinisiasi oleh dua pejabat kunci, yakni Inisial S S, Direktur Operasional, dan S O , Direktur Dana dan Jasa.
Lebih mencengangkan lagi, keputusan besar ini disebut-sebut tidak melibatkan bahkan tidak memberitahu Direktur Utama saat itu, Andi Bukhari.
Langkah sepihak itu memunculkan dugaan kuat adanya motif tersembunyi di balik pinjaman tersebut, terutama karena angka bunga jauh di atas batas normal dan terindikasi membuka ruang bagi “fee” bagi pihak tertentu.
“Dirut waktu itu tidak tahu, tidak diajak bicara, tapi pinjaman sudah jalan. Ini bukan kebijakan bisnis, tapi manuver individu yang berani melangkahi garis,” ujar salah satu sumber perbankan yang mengetahui struktur internal BRK.
Dipanggil Kejati, Tapi Diduga Kasus Masuk Angin
Kasus ini sempat mencuat ke permukaan ketika Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau memanggil sejumlah pejabat BRK untuk dimintai klarifikasi. Namun, hingga kini, proses hukum terkesan jalan di tempat.
Publik menilai penyidikan Kejati Riau “masuk angin” setelah beberapa kali pemanggilan tidak membuahkan hasil yang jelas.
“Kasus sebesar ini, dengan kerugian puluhan miliar setiap bulan, mestinya sudah naik ke tahap penyidikan. Tapi faktanya, senyap. Publik wajar curiga ada intervensi kekuasaan,” ujar pengamat hukum di Pekanbaru.
Income Smoothing, Laporan Indah di Atas Neraca Berdarah
Banyak kalangan menilai, skema pinjaman ini merupakan bentuk “income smoothing” praktik manipulatif untuk menutupi ketimpangan keuangan agar terlihat stabil.
BRK diduga sengaja memainkan angka agar laporan keuangan tetap tampak sehat, meski faktanya beban bunga dan biaya operasional sudah menekan neraca secara brutal.
“Mereka mainkan angka, bukan perbaiki kinerja. Laporan terlihat bagus, tapi sebenarnya BRK berdarah setiap bulan,” ujar seorang analis keuangan independen.
Tuntutan Publik: Bongkar Skandal Ini Sampai ke Akar
Dugaan adanya fee titipan bagi pejabat, pelanggaran prinsip syariah, serta pembiaran hukum oleh aparat menjadi kombinasi mematikan yang mengancam integritas BRK Syariah.
Publik kini menuntut OJK, BPKP, dan KPK untuk turun tangan melakukan audit forensik terhadap transaksi Rp 2 triliun tersebut.
Jika terbukti benar, kasus ini bukan hanya mencoreng nama BRK Syariah, tapi juga menjadi simbol kehancuran moral pejabat daerah yang memperkosa sistem keuangan rakyat untuk kepentingan pribadi.***MDn
#Skandal BRK syariah #Skandal BRK #Riau Riau Syariah