Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
Di tengah upaya global menuju energi bersih dan popularitas kendaraan listrik sebagai simbol kemajuan, Indonesia menghadapi tantangan besar. Wilayah adat seperti Raja Ampat di Papua Barat Daya, yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dan surga ekowisata bahari, kini terancam oleh ekspansi tambang nikel. Di balik janji “transisi energi hijau,” hak masyarakat adat direnggut, lingkungan rusak, dan suara rakyat kecil termarjinalkan.
Masalah ini bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan juga krisis psikologis, moral, dan spiritual yang layak mendapat perhatian mendalam dari seluruh lapisan Masyarakat, pemerintah, bahkan dunia internasional melalui organisasi World Wide Fund for Nature (WWF), sebuah organisasi yang fokus pada pelestarian lingkungan hidup.
Dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 56 Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik". (QS. Al-A’raf: 56)
Seruan Al-Qur’an ini seolah menggema lebih keras akhir-akhir ini, seakan mengetuk hati nurani, memperingatkan umat manusia agar tidak merusak bumi yang telah dianugerahkan dalam keadaan baik. Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu kawasan paling indah dan lestari di dunia, kini menghadapi ancaman nyata dari industri tambang nikel. Lambat laun, keindahan yang dijuluki “surga terakhir di bumi” itu akan memudar, tergerus oleh ambisi pembangunan yang seringkali mengabaikan keseimbangan alam dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Di tengah semangat transisi energi dunia, Indonesia menjadi pemain utama karena cadangan nikelnya yang melimpah, dan diakui paling banyak di dunia. Namun, di balik proyek hilirisasi dan industri baterai kendaraan listrik, terdapat kisah getir masyarakat lokal yang tersingkirkan dari ruang hidupnya. Mereka tak hanya menghadapi krisis ekologis, tetapi juga keretakan psikologis yang lebih dalam.
Ketika tambang masuk ke wilayah yang sebelumnya lestari, bukan hanya tanah dan hutan yang tergerus. Rasa aman, keterikatan spiritual, dan identitas budaya masyarakat pun ikut memudar. Dalam kacamata psikologi lingkungan, alam bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian integral dari keseimbangan batin manusia.
Bagi masyarakat adat Papua, tanah dan laut tidak hanya dimiliki, tapi merupakan warisan leluhur dan perpanjangan dari jiwa kolektif. Ketika relasi sakral ini dirusak, masyarakat bisa mengalami trauma ekologis, suatu bentuk penderitaan yang timbul karena kehilangan lanskap yang mereka cintai dan maknai secara mendalam.
Trauma ekologis tersebut bukan hanya reaksi emosional terhadap perubahan lingkungan, melainkan juga menandai terjadinya krisis identitas kolektif yang berpengaruh pada kesehatan mental dan tatanan sosial komunitas. Dari sudut pandang psikologi lingkungan, keterikatan kuat terhadap tanah dan laut membentuk identitas tempat yang menjadi landasan eksistensi individu maupun kelompok.
Kerusakan pada lingkungan ini berarti hilangnya pusat identitas, yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah psikologis seperti kecemasan, stres berkepanjangan, bahkan disintegrasi sosial. Oleh sebab itu, pengakuan dan perlindungan terhadap relasi sakral masyarakat adat dengan lingkungan mereka harus menjadi fokus utama dalam kebijakan pembangunan dan konservasi, guna menghindari dampak psikologis kolektif yang mendalam sekaligus menjaga keadilan budaya dan sosial bagi masyarakat adat Papua.
Sayangnya, pembangunan seringkali dibungkus dengan narasi mulia: penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan teknologi. Di balik itu, kerusakan dan ketimpangan sosial acap disamarkan. Dalam teori psikologi moral, ini dikenal sebagai moral disengagement, mekanisme batin di mana pelaku merasa tidak bersalah atas tindakan destruktif karena merasa "itu demi kebaikan umum."
Mereka lupa bahwa keadilan sejati tidak bisa dibangun di atas penderitaan satu kelompok demi kenyamanan kelompok lain. Warga lokal yang tak punya akses terhadap proses pengambilan keputusan justru paling terdampak, sementara keuntungan terbesar dinikmati oleh elite dan pemilik modal.
Jika ditinjau dari perspektif psikologi Islam, hubungan manusia dan alam bersifat amanah. Manusia diangkat sebagai khalifah (pemimpin) bukan untuk merusak, melainkan untuk merawat. Ketika kerakusan menggantikan kepemimpinan spiritual, kerusakan ekologis menjadi tak terhindarkan.
Islam juga menekankan pentingnya mizan (keseimbangan) dalam ciptaan Allah (QS. Ar-Rahman: 7-9). Artinya, mengganggu keseimbangan alam bukan hanya pelanggaran fisik, tetapi juga pelanggaran spiritual dan etik. Kerusakan itu akan kembali menghantam jiwa manusia, menciptakan ketidaktenangan, alienasi, dan disorientasi nilai. Ketika alam dieksploitasi dan kearifan lokal diabaikan demi kepentingan jangka pendek, manusia secara tidak sadar telah memutus simpul spiritual yang menghubungkan mereka dengan lingkungan hidup. Dalam situasi ini, identitas bersama menjadi kabur, nilai-nilai moral kehilangan pijakan, dan individu merasa terputus dari makna hidup yang seharusnya menyatu dengan alam dan budaya leluhur.
Dalam konteks ini, keadilan ekologis dan keadilan sosial tidak bisa dipisahkan. Masyarakat yang selama ini hidup bersahaja dengan alam tidak boleh dijadikan korban atas nama modernitas. Jika pembangunan tidak melibatkan suara masyarakat lokal, maka ia bukan lagi pembangunan, melainkan penindasan sistemik yang dibungkus teknologi.
Dampak psikologis dari praktik seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Ia bisa menimbulkan kecemasan komunitas, kehilangan makna hidup, bahkan trauma lintas generasi. Dalam jangka panjang, bangsa ini justru kehilangan daya spiritual dan akar kulturalnya.
Raja Ampat hari ini adalah refleksi dari bagaimana bangsa ini memperlakukan warisan ciptaan Tuhan. Apakah kita ingin menjadi penjaga atau justru menjadi penghancur atas karunia itu? Jika kita masih memiliki akal sehat, hati nurani, dan iman, maka sudah saatnya menghentikan segala bentuk eksploitasi yang mengatasnamakan kemajuan tapi menghancurkan jiwa bangsa secara perlahan.
Surga tidak bisa diciptakan di kota-kota industri dengan mengorbankan surga yang nyata di timur Indonesia. Jika Raja Ampat musnah oleh kerakusan, maka yang punah bukan hanya keindahan karangnya, tetapi juga ketundukan spiritual bangsa ini kepada Tuhannya.
Di balik kemegahan kemajuan teknologi dan janji kemakmuran, kita diajak untuk merenung: Apakah kemajuan itu masih memiliki makna jika harus mengorbankan keseimbangan alam dan kehidupan komunitas? Keagungan suatu bangsa tidak hanya diukur dari produk atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari bagaimana bangsa tersebut memelihara amanah terhadap alam dan menghargai hak sesama manusia. Jika Raja Ampat rusak, maka kita tidak hanya kehilangan keindahan alam, tetapi juga bagian penting dari identitas dan tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi.
_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.
#save Raja Ampat