Pekanbaru — Isu hukum yang menjerat Gubernur Riau non-aktif, Abdul Wahid, kembali mendapat sorotan publik setelah sejumlah pemerhati kebijakan menyebut adanya kejanggalan serius dalam kronologi penetapan status hukumnya. Dua dokumen resmi yang diteken Wahid pada 24 dan 25 September 2025 yang berisi larangan keras terhadap korupsi, gratifikasi, dan kutipan liar dinilai menjadi bukti kuat bahwa sang gubernur justru tengah menggalakkan pembersihan internal di Pemerintah Provinsi Riau.
Pemerhati Kebijakan Publik, Guswanda Putra, menilai kontras antara komitmen tertulis tersebut dengan penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai “anomali hukum yang harus dijelaskan secara transparan.” Ia mempertanyakan mengapa tindakan preventif yang begitu tegas justru diikuti penetapan tersangka dalam waktu yang sangat berdekatan.
“Publik berhak bertanya: apakah ini bukti kemunafikan seorang pemimpin, atau justru indikasi kriminalisasi terhadap pejabat yang berani merombak zona nyaman lama?” ujarnya.
Dokumen Anti-Korupsi Dinilai Melemahkan Unsur Niat Jahat
Dua dokumen tersebut instruksi tegas melalui WhatsApp kepada pejabat internal dan Surat Edaran resmi anti gratifikasi dipandang sebagai bukti exculpatory yang secara hukum melemahkan unsur mens rea (niat jahat), salah satu syarat utama dalam pembuktian tindak pidana korupsi.
Menurut analisis kriminologi kontemporer, tindakan pencegahan yang dilakukan Wahid menunjukkan pola kepemimpinan yang berorientasi pada penertiban, bukan pada perencanaan tindak pidana. Seorang kriminolog yang dikutip dalam analisis tersebut menegaskan bahwa “pemimpin dengan niat jahat tidak akan pernah merilis instruksi dan SE anti-pungli secara terbuka hanya satu atau dua hari sebelum dugaan perbuatan koruptifnya.”
Karena itu, publik menunggu bagaimana KPK membuktikan bahwa dugaan niat koruptif Abdul Wahid jika ada telah mendahului langkah-langkah pencegahan yang ia buat sendiri.
Pola Selective Enforcement Diduga Mengemuka
Aktivis Riau, Wanda, menilai kasus ini berpotensi masuk dalam kategori selective enforcement atau penegakan hukum selektif, terutama setelah kebijakan Wahid selama 2024–2025 dinilai mengganggu jaringan lama yang selama ini menikmati keuntungan dari pola kutipan proyek dan fee anggaran.
Ia menyebut bahwa penindakan yang muncul segera setelah upaya penertiban internal tidak boleh dilepaskan dari dinamika kekuasaan di level daerah maupun pusat. “Pejabat yang berani merombak pola lama pasti menciptakan resistensi. Bila penindakan terjadi tepat setelah penertiban, wajar publik mencurigai adanya kepentingan yang lebih besar,” ujarnya.
KPK Diminta Transparan dan Bebas Intervensi
Para penggiat antikorupsi menegaskan bahwa mereka tetap mendukung pemberantasan korupsi. Namun, mereka mendesak agar KPK memastikan proses berjalan tanpa intervensi politik dan tanpa menjadikan kepala daerah sebagai korban permainan kekuasaan.
“Jangan biarkan Riau menjadi panggung politik. Publik tidak boleh diperlakukan seolah-olah tidak memahami peta kekuasaan,” kata Wanda.
Masyarakat sipil menekankan bahwa penegakan hukum harus dibuktikan secara beyond reasonable doubt tanpa mengabaikan bukti-bukti yang justru menunjukkan tindakan preventif dari Abdul Wahid.
Tuntutan Publik: Objektivitas dan Keadilan Substantif
Analisis publik yang berkembang menyimpulkan bahwa proses hukum ini berada dalam pusaran kejanggalan yang tidak bisa diabaikan. Bukti berupa instruksi dan Surat Edaran anti-korupsi yang diterbitkan Wahid menuntut KPK untuk memberi penjelasan komprehensif.
Momentum ini dinilai penting bukan hanya untuk menegakkan keadilan bagi Abdul Wahid, tetapi juga untuk menjaga integritas sistem hukum dan relasi Pusat-Daerah dalam pemberantasan korupsi.
Publik Riau kini menanti proses hukum yang bersih, adil, dan bebas dari rekayasa politik.***Rls
#KPK RI #OTT KPK #Abdul Wahid #Ustat Abdul Somad