Bentrok Berdarah di Laboi Jaya: Konflik Tanah Ulayat 60 Hektar, Datuk Diduga Pernah Jual Kebun untuk Kepentingan Pribadi

Bentrok Berdarah di Laboi Jaya: Konflik Tanah Ulayat 60 Hektar, Datuk Diduga Pernah Jual Kebun untuk Kepentingan Pribadi

WARTA RAKYAT ONLINE- Laboi Jaya, Kampar – Aroma konflik agraria kembali menyeruak dari tanah ulayat milik Persukuan Melayu Datuok Mudo di Desa Laboi Jaya, Kabupaten Kampar. Lahan seluas 60 hektar yang sedianya diperuntukkan untuk anak kemenakan kini menjadi medan pertarungan berdarah setelah diduga terjadi penyelewengan wewenang oleh mantan pemangku adat, Rusdi Rahman.

Rusdi, yang pernah menjabat sebagai Datuk Jadeko Persukuan Melayu Tuo Mudo, diberhentikan dari jabatannya pada 18 Agustus 2023. Selama masa kepemimpinannya, hak anak kemenakan atas lahan tersebut diduga diabaikan. Bukannya hasil kebun dibagikan sesuai adat dan musyawarah, Rusdi diduga justru memanfaatkan kebun sawit untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan keterangan beberapa warga, sebagian lahan di luar lahan 60 Ha bahkan telah dijual secara ilegal kepada pihak luar, termasuk tokoh berinisial Haji Bantan dan Suharto. Penjualan ini diperkirakan meliputi puluhan hektar, tanpa persetujuan anak kemenakan maupun lembaga adat.

Ketika anak kemenakan mencoba merebut kembali hak atas tanah mereka, ketegangan tak terhindarkan. Alih-alih menyelesaikan konflik secara musyawarah, Rusdi diduga menyewa preman bayaran untuk menghalau masyarakat yang datang ke lokasi.

Bentrok berdarah pun tak terelakkan. Dalam insiden tragis itu, seorang Anak Kemenakan bernama Nusarman menjadi korban kekerasan brutal yang dilakukan oleh para preman. Anak Kemenakan menyebut peristiwa itu sebagai luka baru dalam sejarah panjang konflik tanah adat yang belum pernah dituntaskan secara adil.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak PT. PMI terkait kepemilikan lahan maupun dugaan keterlibatan dalam konflik tersebut. Pihak kepolisian juga belum memberikan keterangan mengenai proses hukum terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di lokasi.

Kasus ini menjadi potret kelam dari lemahnya perlindungan hukum terhadap tanah ulayat dan kerapnya adat istiadat dijadikan alat untuk kepentingan individu. Masyarakat adat pun kini menuntut keadilan: hak atas tanah, kejelasan status hukum, dan pertanggungjawaban atas kekerasan yang terjadi.**mdn

#Tanah Ulayat #Bentrok anak Kemanakan