WARTARAKYATONLINE- Bangkinang, Dinas Pendidikan Kabupaten Kampar kembali menjadi sorotan tajam. Bukan karena prestasi, melainkan karena dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang sistemik dan mengakar kuat dalam tubuh birokrasi. Proses administrasi yang seharusnya menjadi hak pegawai negeri sipil seperti pensiun dan kenaikan pangkat diduga telah berubah menjadi “komoditas” yang diperjualbelikan secara diam-diam.
Temuan ini mencuat setelah tim investigasi HKIndonesia melakukan kunjungan langsung ke kantor Dinas Pendidikan Kampar pada pukul 15.10 WIB. Seorang ibu berusia sekitar 65 tahun yang baru keluar dari gedung dinas secara tak sengaja mengungkap praktik tak lazim tersebut.
“Disuruh transfer Rp500 ribu buat urus pensiun,” ucapnya lirih, sembari menunjukkan kekesalan kepada keluarganya.
Tak berhenti di situ, ia juga mengaku bahwa untuk mengurus kenaikan pangkat atau golongan, dirinya diminta membayar hingga Rp3,5 juta, dengan bantuan seorang pegawai bernama Bu Ani, yang disebut-sebut bekerja di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).
Budaya Busuk yang Sudah Menjadi Tradisi
Redaksi HKIndonesia tidak berhenti pada satu kesaksian. Sejumlah narasumber lain dari kalangan ASN membenarkan bahwa praktik pungli seperti ini sudah berlangsung lama dan dianggap “tradisi” yang tak tertulis. Bahkan beberapa mengaku, uang yang dipungut tak berhenti di tangan pegawai bawah. Ada aliran dana ke atas.
“Ini bukan ulah satu orang. Ini sistem. Kalau tak bayar, proses pasti dipersulit,” ujar salah satu ASN yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Muncul dugaan kuat adanya aktor intelektual di balik praktik ini—orang-orang berpengaruh yang dengan sadar memelihara kultur busuk tersebut dan membiarkannya terus berlangsung dengan mengandalkan rasa takut, loyalitas, dan pembiaran sistemik.
Konfirmasi Dihalang-Halangi, Informasi Ditutup Rapat
Ketika wartawan mencoba mengonfirmasi langsung ke pihak Dinas Pendidikan dan Dispora, tanggapan yang diterima justru menunjukkan indikasi penghindaran. Petugas piket dan pimpinan dinas menolak memberi keterangan resmi. Pihak Dispora malah menyebut Bu Ani tidak terdaftar sebagai pegawai mereka, dan meminta rekaman pengakuan korban dikirim ke WhatsApp pribadi.
Ketika jurnalis menolak memberikan rekaman, akses konfirmasi pun langsung ditutup. Tindakan ini jelas menandakan minimnya komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.
“Kalau kalian tak mau kasih rekaman, tak usah konfirmasi ke sini,” ujar salah satu staf dingin.
Tindakan Pidana Berat: Korupsi Berkedok Administrasi
Jika dugaan ini terbukti, maka praktik ini tak hanya mencoreng nama baik institusi, melainkan juga masuk dalam ranah tindak pidana korupsi, pemerasan, dan penyalahgunaan jabatan, yang diatur dalam berbagai payung hukum:
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor
Pasal 12 e: Pegawai negeri yang memaksa memberi sesuatu diancam penjara 4–20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
KUHP
Pasal 368: Pemerasan — penjara hingga 9 tahun.
Pasal 423: Penyalahgunaan jabatan — penjara maksimal 6 tahun.
PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
Hukuman terberat berupa pemberhentian dengan tidak hormat.
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 17 ayat (2): Larangan mutlak pemungutan biaya di luar ketentuan resmi.
Seruan Masyarakat: Usut Tuntas, Tangkap Otak di Balik Layar!
Skandal ini menjadi alarm keras bahwa birokrasi pendidikan di Kampar sedang sakit parah. Jika pengurusan pensiun dan kenaikan pangkat yang mestinya menjadi hak PNS bisa diperjualbelikan, maka pertanyaan besarnya adalah: Apa lagi yang dijual diam-diam oleh oknum birokrat?
Warga Kampar dan para pemerhati antikorupsi kini mendesak Kejari Kampar, Polres Kampar, hingga KPK untuk turun tangan, mengusut siapa aktor intelektual di balik praktik ini, dan menyeret seluruh jaringannya ke meja hijau.
“Kalau ini tidak dibongkar habis-habisan, pungli akan terus jadi budaya. Ini bukan masalah uang saja, ini soal integritas negara,” ujar seorang tokoh masyarakat. Kampar Akyar Nur.***mdn
#Pungli Dispora Kampar #Dispora Kampar