Bangkinang – Rencana perpanjangan masa jabatan dua tahun bagi 53 kepala desa di Kabupaten Kampar menuai sorotan. Pemerintah Kabupaten Kampar mengingatkan para kades agar terlebih dahulu menuntaskan kewajiban menyelesaikan temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat sebelum bisa kembali dikukuhkan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Kampar, Lukmansyah Badoe, menegaskan bahwa hanya kades yang sudah bersih dari temuan LHP yang bisa kembali dilantik. Hingga Minggu (17/8/2025), baru delapan kepala desa yang menuntaskan kewajibannya. Sementara sisanya diberi batas waktu hingga 25 Agustus 2025.
“Kalau sampai tanggal itu tidak juga dituntaskan, pelantikan atau pengukuhan kembali bagi kades yang masih ada temuan akan dibatalkan,” tegas Lukmansyah.
Namun di tengah proses tersebut, muncul isu yang menyeret nama Dinas PMD. Beredar kabar sejumlah kades dimintai uang oleh oknum dinas. Menanggapi hal itu, Lukmansyah membantah keras.
“Tidak benar ada pungutan itu. Saya pastikan isu itu tidak benar,” ujarnya.
Meski begitu, Lukmansyah mengakui dirinya menerima honorarium resmi saat menjadi pemateri dalam kegiatan sosialisasi, misalnya terkait program stunting. Honor yang diterimanya disebut Rp900 ribu per jam, dipotong pajak sesuai aturan.
“Memang ada honor Rp900 ribu per jam sebagai pemateri, tapi itu hak saya dan sesuai ketentuan. Bukan pungutan,” katanya.
Sementara itu, sejumlah kepala desa mengaku kecewa dengan praktik tersebut. Mereka menilai kehadiran kadis dalam acara tidak sebanding dengan honor yang diterima.
“Faktanya, kadis hanya hadir saat pembukaan acara, tidak sampai satu jam. Tapi honor yang diterima dibayarkan penuh Rp900 ribu per jam, dikalikan empat jam per pertemuan. Jadi bisa sekitar Rp3,6 juta sekali acara. Parahnya lagi, dalam satu hari bisa ada beberapa titik kegiatan. Pajaknya pun kades yang bayar,” ungkap seorang kepala desa.
Aktivis Kampar, Dedi Osri, menegaskan bahwa pola honorarium ini berpotensi melanggar hukum dan merugikan desa.
“Kalau hitungannya Rp900 ribu per jam, dikali empat jam, itu sudah Rp3,6 juta per pertemuan. Padahal kadis hanya datang sebentar. Pajaknya pun kades yang bayar. Kalau benar praktik ini terjadi, jelas ada penyalahgunaan kewenangan. Ini bisa masuk ranah UU Tipikor dan harus jadi perhatian aparat hukum,” tegas Dedi.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pungutan atau penerimaan yang tidak sesuai ketentuan dan merugikan keuangan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Selain itu, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN juga mengatur larangan pejabat negara menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi.
Kepala Inspektorat Kabupaten Kampar, Febrinaldi Tridarmawan, sebelumnya menegaskan bahwa syarat utama perpanjangan jabatan tetap pada penyelesaian temuan LHP. “Inspektorat akan memeriksa apakah masih ada tunggakan atau belum ditindaklanjuti. Itu jadi pertimbangan utama sebelum pengukuhan ulang dilakukan,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, para kades yang berharap jabatan mereka diperpanjang diingatkan untuk menuntaskan kewajiban administrasi. Di sisi lain, dugaan pungli dan modus honorarium yang menyeruak kini menjadi perhatian publik, sekaligus ujian transparansi bagi Dinas PMD Kampar. (mdn)
#Jelang Pelantikan #Kades di Kampar Diberi Waktu #hingga 25 Agustus 2025 #untuk Selesaikan Temuan LHP