Uang Bukan Tameng Hukum : Pengacara Alamsyah Buka Suara Soal Kasus AM dan Dugaan Uang Pelicin

Uang Bukan Tameng Hukum : Pengacara Alamsyah Buka Suara Soal Kasus AM dan Dugaan Uang Pelicin
AM Yang di duga Pelaku Pencabulan Anak SD

WARTA RAKYAT ONLINE. Bangkinang, 16 Juni 2025 — Pengacara dan pemerhati hukum, Alamsyah, SH, menyampaikan sikap tegas terhadap kasus dugaan pencabulan yang menyeret AM, pria yang diduga mencabuli anak perempuan berusia 12 tahun. Ia juga memberikan penjelasan mendalam terkait kabar viral mengenai pemberian “uang pelicin” untuk menghentikan proses hukum.

“Kasus ini menyentuh dua persoalan serius: kejahatan terhadap anak dan dugaan penghalangan proses hukum. Saya tegaskan, tidak ada celah hukum untuk menyelesaikan kasus seperti ini dengan uang atau jalan kekeluargaan,” ujar Alamsyah kepada awak media, Senin (16/6).

Dasar Hukum: Delik Biasa & Perlindungan Anak

Menurut Alamsyah, pencabulan terhadap anak merupakan tindak pidana berat yang diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Tindak pidana ini termasuk delik biasa, yaitu dapat diproses oleh aparat hukum tanpa perlu aduan dari korban atau keluarganya.

“Ini bukan soal suka sama suka atau hanya persoalan keluarga. Korbannya adalah anak-anak, dan negara berkewajiban memberikan perlindungan. Dalam hal ini, perdamaian tidak menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku,” tegasnya.

Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan:

"Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar."

Dugaan Uang Pelicin: Ancaman Obstruction of Justice

Menanggapi isu beredarnya kabar bahwa pelaku memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban dan pihak-pihak tertentu untuk menghentikan proses hukum, Alamsyah menyatakan hal itu bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice, atau tindakan menghalangi proses peradilan.

“Kami mendengar dan menerima bukti awal terkait adanya uang pelicin. Jika benar, itu bukan hanya tidak etis, tapi dapat dikenakan sanksi pidana,” tegasnya.

Ia merujuk pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp600 juta.”

Selain itu, menurut Alamsyah, pihak yang terlibat dalam membantu pelaku untuk lolos dari proses hukum juga bisa dijerat menggunakan Pasal 221 KUHP dan Pasal 55–56 KUHP.

Seruan untuk Aparat dan Masyarakat

Alamsyah meminta kepolisian dan kejaksaan bertindak secara transparan dan profesional. Ia menekankan pentingnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, khususnya dalam kasus yang menyangkut masa depan anak-anak.

“Hukum tidak boleh dibeli. Kalau pelaku dibiarkan lolos dengan dalih ‘sudah damai’ atau ‘sudah bayar’, ini akan menjadi preseden buruk dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap hukum,” ujarnya.

Ia juga mengapresiasi masyarakat dan media sosial yang aktif menyuarakan kasus ini sebagai bentuk kontrol publik.

“Kita tidak boleh diam. Korban masih anak-anak. Jika kita biarkan pelaku lolos karena uang, maka sama saja kita menggadaikan masa depan generasi bangsa,” tutup Alamsyah.***mdn

#Pecabulan Anak SD #Cabul Desa Ranah