Putusan Dianggap Janggal, Mahasiswa Kuansing Minta Komisi Yudisial Periksa Hakim Kasus Rapid Test

Putusan Dianggap Janggal, Mahasiswa Kuansing Minta Komisi Yudisial Periksa Hakim Kasus Rapid Test
Komisi Yudisial

TELUK KUANTAN — Gelombang penolakan terhadap kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) membayar Rp23,4 miliar kepada PT Bismacindo Perkasa terus bergulir. Kali ini datang dari kalangan mahasiswa. Ketua Umum Ikatan Pemuda, Mahasiswa Kuantan Singingi (IPMAKUSI) Pekanbaru, Zulfajri, S.IP, secara tegas meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara pengadaan rapid test Covid-19 tahun 2020.

“Kami menduga putusan itu tidak tepat. Bagaimana mungkin pengadaan yang tidak ada dalam APBD bisa dimenangkan di pengadilan? Kami akan membuat surat resmi ke Komisi Yudisial untuk meminta pemeriksaan terhadap para hakim,” tegas Zulfajri, Selasa (17/6/2025).

Zulfajri menambahkan, sesuai Pasal 24B UUD 1945, Komisi Yudisial berwenang mengawasi perilaku hakim, dan Pasal 21 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU KY, masyarakat berhak melaporkan hakim jika diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

“Sikap kami tegas. Negara ini negara hukum, tapi hukum tidak boleh dipakai untuk melegitimasi tindakan administrasi yang cacat dari awal. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal keadilan publik,” tambahnya.

Sebelumnya, Bupati Kuansing Suhardiman Amby menyatakan bahwa Pemkab tidak memiliki dasar hukum untuk membayar kewajiban senilai Rp23,4 miliar tersebut. Ia menegaskan, kegiatan pengadaan rapid test pada tahun 2020 itu tidak tercantum dalam RKPD, KUA-PPAS, RAPBD maupun APBD.

“Itu terjadi di masa Bupati Mursini, dilakukan oleh Helmi Ruspandi selaku Plt Kepala Dinas Kesehatan. Tidak ada dasar hukumnya. Ini murni tanggung jawab pribadi, bukan tanggung jawab pemda sekarang,” tegas Suhardiman.

Suhardiman juga menyebut, harga pengadaan rapid test saat itu diduga jauh melampaui standar harga pemerintah, sehingga kuat dugaan adanya markup.

Pengamat politik Kuansing, Bung Darwis, yang juga mantan anggota DPRD dari Partai Hanura, mendukung sikap Bupati dan mahasiswa. Ia heran kenapa pengadaan yang jelas tidak legal bisa dimenangkan hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK).

“Herannya kok bisa menang? Itu jelas-jelas tidak pernah dibahas di DPRD, tidak masuk APBD. Jangan bebankan rakyat Kuansing atas utang bodong seperti ini,” ujarnya.

Diketahui, perkara ini bermula dari pengadaan rapid test oleh Dinas Kesehatan Kuansing tahun 2020 senilai Rp15,2 miliar yang tidak dibayarkan karena tidak dianggarkan. PT Bismacindo Perkasa lalu menggugat Pemkab Kuansing pada 1 Agustus 2022 ke PN Teluk Kuantan, dan menang di semua tingkatan pengadilan.

Putusan eksekusi dibacakan Juru Sita PN Teluk Kuantan pada Senin (16/6/2025), yang mewajibkan Pemkab Kuansing membayar total Rp23,4 miliar, terdiri atas kerugian materiil Rp15,2 miliar dan denda Rp8,1 miliar.

Pemerintah Kabupaten Kuansing hingga saat ini masih menyatakan belum akan membayar karena tidak ada dasar hukum, dan menganggap putusan tersebut bertentangan dengan prinsip pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003. (rls)

 

#Komisi Yudisial #Kasus Rapidtes