Suhardiman Sebut Utang Rapid Test Era Mursini 'Bodong' dan Tidak Sesuai Ketentuan, Pengamat: Kok Bisa Menang di Pengadilan?

Suhardiman Sebut Utang Rapid Test Era Mursini 'Bodong' dan Tidak Sesuai Ketentuan, Pengamat: Kok Bisa Menang di Pengadilan?
Bupati Kuansing, Suhardiman Amby

TELUK KUANTAN — Bupati Kuantan Singingi (Kuansing), Suhardiman Amby, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kuansing tidak memiliki dasar hukum untuk membayar kewajiban senilai Rp23,4 miliar kepada PT Bismacindo Perkasa terkait pengadaan alat rapid test Covid-19 pada tahun 2020. Ia menyebut pengadaan itu sebagai utang bodong dan menegaskan bahwa kegiatan tersebut tidak pernah tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.

“Kami tidak mungkin membayar itu karena tidak ada dalam RKPD, KUA-PPAS, RAPBD maupun APBD tahun 2020. Itu sama saja melanggar ketentuan perundang-undangan,” tegas Suhardiman, Senin (16/6/2025).

Ia menegaskan, kegiatan itu murni dilakukan oleh oknum pejabat di masa lalu. "Itu terjadi pada masa Bupati Mursini, dilakukan oleh Plt Kadis Kesehatan Helmi Ruspandi. Tidak ada dasar hukumnya, tidak pernah masuk sistem anggaran," jelasnya.

Suhardiman bahkan menduga pengadaan rapid test tersebut bermasalah karena harga satuannya jauh melebihi ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Presiden tentang pengadaan barang dan jasa. “Ini patut diduga markup dan sarat pelanggaran hukum,” ujarnya.

Pengamat politik Kuansing, Bung Darwis, juga menyampaikan pandangan kritis terhadap perkara ini. Sebagai mantan anggota DPRD Kuansing dan politisi Partai Hanura, Darwis menilai bahwa tidak semestinya pemerintah daerah sekarang dipaksa menanggung utang yang tidak jelas legalitasnya.

“Jangan bebankan pemda untuk membayar hutang yang tidak memiliki dasar penganggaran. Itu tidak ada dalam APBD, tidak pernah dibahas di DPRD, apalagi disahkan. Ini jelas bukan tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab pribadi pejabat saat itu,” kata Darwis.

Darwis mengaku heran dengan putusan pengadilan yang memenangkan pihak rekanan, padahal dasar hukumnya sangat lemah. “Herannya kok bisa menang di semua tingkatan pengadilan? Padahal itu kegiatan ilegal dari sisi tata kelola anggaran. Ini patut dipertanyakan,” ujarnya penuh tanda tanya.

Ia juga mengingatkan bahwa jika pemerintah daerah tetap membayar kewajiban tersebut tanpa dasar hukum yang sah, maka dapat menimbulkan persoalan hukum baru. “Kalau itu dibayar, akan jadi temuan BPK, dan bisa masuk ke ranah Tipikor. Jangan sampai Pemkab masuk lubang yang sama,” tegasnya.

Diketahui, kewajiban membayar tersebut muncul setelah PT Bismacindo Perkasa memenangkan gugatan terhadap Pemkab Kuansing di semua tingkatan pengadilan, mulai dari PN Teluk Kuantan, Pengadilan Tinggi Riau, Mahkamah Agung hingga Peninjauan Kembali (PK). Gugatan bermula dari proyek pengadaan rapid test tahun 2020 senilai Rp15,2 miliar yang tidak dibayarkan oleh Dinas Kesehatan Kuansing.

Putusan eksekusi dibacakan oleh juru sita PN Teluk Kuantan pada Senin (16/6/2025) di Kantor Bupati Kuansing. Dalam putusan itu, Pemkab diwajibkan membayar total Rp23,4 miliar, terdiri atas kerugian materiil Rp15,2 miliar dan denda Rp8,1 miliar.

Kuasa hukum PT Bismacindo Perkasa, Afriansyah SH, MH, dari LBH Kartika Tribrata Law Firm menyebut pihaknya telah melakukan tiga kali upaya terhadap Pemkab, termasuk dua aanmaning sebelum eksekusi. “Kami menang di semua tingkatan, dan ini sudah inkrah. Kami hanya berharap pemerintah menghormati hukum,” ujarnya.

Namun demikian, Pemkab Kuansing bersikukuh bahwa pembayaran tersebut tidak dapat dilakukan karena melanggar asas legalitas keuangan negara. Pemerintah daerah menyebut pengadaan itu sebagai tanggung jawab pribadi pejabat lama yang tidak melalui prosedur yang sah.

“Kalau kami bayar, itu justru pelanggaran hukum baru. Negara kita ini bukan dikelola atas dasar kasihan, tapi aturan. Kami tidak mau melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” tutup Suhardiman. (rls)

#Hutang Perorangan #Hutang Bodong