WARTARAKYAT - Kampar , Bau busuk pengkhianatan adat menyeruak dari Desa Sungai Sariak, Kabupaten Kampar. Seorang penghulu adat bergelar Maska Safrizal Datuk Rajo Mangkuto diduga menjual tanah ulayat kaum tanpa izin kamanakan, bahkan lahan yang dijual disebut-sebut berada di kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
Dugaan praktik kotor ini terbongkar setelah beredar foto dan kwitansi transaksi ratusan juta rupiah. Dalam dokumen tertanggal 19 Juni 2022, tercantum nama Maska Safrizal Dt. Rajo Mangkuto sebagai penerima uang panjar Rp 285 juta dari penjualan sekitar 60 hektare lahan milik kaum Mamak Batang Uluak.
Para kamanakan, sebagai ahli waris adat, mengaku tidak pernah memberi izin atau persetujuan atas penjualan tersebut. Mereka menilai tindakan Datuk sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pengkhianatan terhadap amanah kaum.
“Kami marah besar! Tidak ada rapat adat, tidak ada mufakat. Datuk bertindak semaunya, menjual tanah kaum tanpa izin. Kami minta aparat hukum turun tangan!” tegas salah seorang kamanakan dengan nada geram.
Lebih parahnya, lahan yang dijual itu diduga kuat masuk dalam kawasan hutan negara, yang secara hukum dilarang diperjualbelikan atau dialihkan. Sumber di lapangan menyebut, lahan tersebut kini telah diubah oleh pembeli bernama Haris Nasution menjadi kebun kelapa sawit, memunculkan dugaan tindak pidana kehutanan dan pelanggaran adat berat.
Datuk Membantah, Kamanakan Tak Percaya
Saat dikonfirmasi, Datuk Rajo Mangkuto mencoba membela diri.
“Itu bukan tanah ulayat, tapi lahan garapan anak keponakan. Sudah lama dikelola dan bukan kawasan hutan,” ujarnya singkat.
Namun, pernyataan tersebut justru memicu gelombang kemarahan baru. Para kamanakan menilai alasan Datuk hanyalah upaya menutupi penjualan ilegal yang melanggar hukum adat dan negara.
Hukum
Tumpang Tindih Pelanggaran Hukum
Dugaan penjualan tanah ulayat di kawasan hutan ini berpotensi menjerat para pihak dengan berbagai pasal berat:
1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Melarang menguasai atau menjual kawasan hutan tanpa izin.
Ancaman: Penjara hingga 10 tahun, denda Rp 5 miliar.
2. UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H
Melarang pengalihan lahan dalam kawasan hutan tanpa izin pemerintah.
Ancaman: Penjara 3–15 tahun, denda Rp 1–10 miliar.
3. Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016
Menegaskan tanah ulayat tidak boleh dijual tanpa musyawarah dan persetujuan kaum.
4. KUHP Pasal 372 & 385
Tentang penggelapan dan penjualan tanah orang lain secara ilegal.
Ancaman: Penjara hingga 4 tahun.
Desakan Masyarakat: Tangkap Pengkhianat Adat
Warga Sungai Sariak kini bersatu menuntut keadilan. Mereka meminta Polres Kampar, Kejaksaan, dan Satgas Penegakan Hukum Lingkungan (Gakkum LHK) segera menyita lahan, memeriksa Datuk, dan memproses semua pihak yang terlibat.
“Ini bukan sekadar persoalan adat, tapi sudah ranah pidana. Kami minta aparat bertindak tegas. Jangan biarkan adat diinjak-injak oleh kepentingan pribadi!” seru tokoh masyarakat setempat.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi lembaga adat yang lalai menjaga marwah dan kepercayaan kaum. Tanah ulayat bukan sekadar harta, melainkan simbol kehormatan dan identitas bersama.
Ketika dijual tanpa izin, yang tercabik bukan hanya tanah tapi harga diri adat itu sendiri.***? MDn