Oleh : Muhammaddun. S. Sos
Di negeri ini yang sering dipoles sebagai negara hukum kita seolah hidup dalam sebuah dongeng kelam. Bukan karena keajaiban, melainkan karena absurditas yang terus dipelihara. Sebuah negeri tempat para koruptor ditangkap oleh koruptor, diadili oleh koruptor, dan pada akhirnya dibebaskan kembali oleh koruptor.
Proses hukum berjalan rapi di atas kertas, lengkap dengan seremonial dan bahasa formal. Namun substansinya kosong. Penegakan hukum lebih mirip sandiwara ketimbang upaya membongkar kejahatan.
Aktor-aktor berganti peran, tetapi wajah dan kepentingannya tetap sama. Hari ini menjadi penyidik, besok menjadi pembela, lusa menjadi hakim moral di ruang publik.
Dalam sistem seperti ini, korupsi tidak pernah benar-benar dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Ia direduksi menjadi pelanggaran administratif, kesalahan prosedural, atau sekadar “kekhilafan manusiawi”. Vonis ringan, remisi berlimpah, dan pembebasan dini menjadi bagian dari paket keadilan semu yang dilembagakan.
Yang paling dirugikan tentu saja rakyat. Bukan hanya karena uang publik dirampok, tetapi karena harapan akan keadilan dipatahkan secara sistematis. Ketika pelaku korupsi bisa tertawa di balik toga hukum, pesan yang sampai ke publik sangat jelas: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Negeri ini tidak kekurangan aturan, tetapi kekurangan keberanian. Tidak kekurangan lembaga pengawas, tetapi miskin integritas. Selama lingkaran kekuasaan dibiarkan mengadili dirinya sendiri, selama para koruptor masih menjadi wasit bagi kejahatan yang mereka lakukan, negeri ini akan terus hidup dalam dongeng dongeng pahit tentang keadilan yang selalu kalah oleh kekuasaan.
Dan dalam dongeng semacam ini, rakyat tak pernah menjadi pemenang hanya penonton yang dipaksa bertepuk tangan.**
#Koruptor #Negeri dongeng