Oleh: Muhammadun. S.Sos
Kemerdekaan yang Hanya di Atas Kertas
Sudah delapan puluh tahun negeri ini merdeka. Namun di balik gegap gempita perayaan dan deretan bendera yang dikibarkan setiap Agustus, kemerdekaan sejatinya belum pernah benar-benar sampai ke tangan rakyat kecil. Yang berubah hanyalah bentuk penjajahan dari bangsa asing menjadi sesama anak negeri sendiri.
Negeri ini memang kaya: lautnya luas, tanahnya subur, gunungnya menyimpan emas, dan hutannya menyimpan napas dunia. Namun di tengah limpahan sumber daya itu, rakyat masih berjuang membeli beras, mencari kerja, dan membayar pendidikan yang semakin mahal. Ironisnya, di atas penderitaan itu, berdiri menara kemewahan para pejabat yang hidup dari uang yang bukan miliknya.
Korupsi yang Menjadi Tradisi
Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, melainkan kebudayaan yang diwariskan. Dari pusat hingga pelosok, dari proyek besar hingga dana desa, semuanya tak luput dari permainan licik bernama penyalahgunaan kekuasaan.
APBN dikorupsi, dana haji dikorupsi, bantuan sosial dikorupsi, dana pendidikan dikorupsi, bahkan proyek strategis nasional yang diklaim untuk rakyat, ikut menjadi ladang bancakan segelintir elit. Ironis, ketika dana yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan justru menjadi bahan bakar keserakahan.
Sudah delapan kali negeri ini berganti pemimpin. Namun tidak satu pun yang berani memulai masa jabatannya dengan pernyataan tegas:
“Koruptor di Miskinkan Dan akan dihukum mati.”
Sebaliknya, mereka sibuk berbicara tentang visi, narasi, dan janji perubahan, sementara para tikus berdasi bebas menari di ruang kekuasaan. Hukum di negeri ini tidak buta, tapi berpihak. Ia tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Rakyat kecil bisa dipenjara karena mencuri buah sawit, sementara pejabat yang mencuri ratusan miliar masih bisa tersenyum di depan kamera, mengaku “khilaf”.
Lebih tragis lagi, suara rakyat kini ikut diperdagangkan. Demokrasi berubah jadi pasar politik, tempat harga nurani ditukar dengan amplop. Maka tak heran jika korupsi tak pernah mati, sebab ia tumbuh dari sistem yang membiarkannya hidup.
Saat Kejujuran Kembali Pulang
Delapan puluh tahun sudah negeri ini merdeka, tapi kemerdekaan sejati belum pernah benar-benar kita rasakan. Kita masih dijajah oleh keserakahan, diperbudak oleh kepura-puraan, dan ditipu oleh narasi perubahan yang tak pernah nyata.
Mungkin kemerdekaan sejati bukan saat penjajah pergi, tapi ketika kejujuran kembali pulang.
Bukan saat bendera dikibarkan, tapi ketika rakyat bisa hidup tanpa takut lapar, tanpa takut diperas oleh sistem yang korup.
Selama hukum masih diperjualbelikan, selama jabatan masih dipandang sebagai ladang, selama korupsi masih dianggap “kesalahan kecil”, negeri ini tak akan pernah benar-benar merdeka.
Merdeka bukan soal usia negara.
Merdeka adalah keberanian untuk jujur, tegas, dan menolak tunduk pada kebusukan.
Dan selama itu belum kita miliki, kita hanyalah bangsa yang tampak merdeka tapi sesungguhnya masih terjajah oleh diri sendiri.***(MDn)