Jalan Sunyi Abu Nazar dari tenaga honor Menuju Cahaya PPPK
Dari pembuat batako dan penjual gorengan, menjadi penyuluh agama.
Sebuah kisah nyata tentang kegigihan, doa, dan takdir yang tak pernah salah.
Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai di garis akhir,
tetapi siapa yang paling kuat bertahan di tengah badai.
Inilah kisah Abu Nazar, anak kampung dari Kampar yang menapaki jalan sunyi penuh peluh, harapan, dan doa. Ia tidak lahir dari keluarga berada, tidak tumbuh dalam kemewahan. Namun dari rahim kesederhanaan, ia belajar arti sabar dan keteguhan.
Ia pernah menjadi pembuat batako, penjual koran di lampu merah, guru MDA, penjual gorengan, bahkan pengawas angkutan batu bara.
Tiga kali ia gagal dalam pemilihan legislatif dan puluhan kali gagal ikut kontestasi politik lainnya mulai dari calon kades hingga maju balon gubernur,  namun tak pernah menyerah pada nasib.
Sebab baginya, kekalahan bukan akhir, melainkan cara Tuhan mengajarkan arti kemenangan yang sejati.
Kini, Abu Nazar berdiri di mimbar dakwah. Ia resmi diangkat sebagai honorer PPPK Kementerian Agama RI  Penyuluh Agama Islam.
Sebuah perjalanan panjang yang membuktikan: jalan Tuhan mungkin berliku, tapi selalu berujung pada kebaikan.
Dari Batako, Bakwan, dan Batu Bara Menuju Dakwah
Hidup adalah perjalanan panjang yang jarang lurus. Ada masa ketika seseorang harus menunduk rendah agar kelak bisa berdiri tegak. Begitulah perjalanan Abu Nazar yang juga merupakan teman dekat Haris Kampai pengusaha hiburan malam di Pekanbaru, Abu juga seorang anak kampung sederhana yang meniti takdir dengan keringat, kesabaran, dan iman.
Masa Kecil dan Dunia Pesantren
Abu tumbuh dalam keluarga yang sederhana, tapi kaya akan nasihat dan doa. Sejak kecil ia telah terbiasa mandiri. Setelah tamat SD, ia memilih nyantri di pondok pesantren. Hidup di sana serba terbatas makan seadanya, tidur di tikar tipis, belajar di bawah lampu minyak.
Namun justru di sanalah ia menemukan makna perjuangan.
“Aku harus bisa jadi orang yang bermanfaat bagi umat,”
bisiknya setiap malam sebelum tidur.
Menjadi Guru dan Penjual Gorengan
Usai mondok, Abu mengajar di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).
Ia mengajarkan anak-anak kampung membaca Al-Qur’an dan menanamkan akhlak.
Gajinya kecil  bahkan sering tak cukup untuk biaya hidup.
Sore hari, ia berjualan gorengan. Di sela mengajar, ia menyiapkan adonan, menggoreng, lalu menjajakan hasilnya.
Tangan yang menulis ayat-ayat suci juga menggenggam sendok sayur panas demi sesuap nasi.
Namun tak ada keluhan darinya.
Ia percaya, rezeki sedikit yang halal lebih berkah daripada harta besar yang kotor.
Membuat Batako dan Merantau
Waktu terus berjalan pasca konfercab dan tidak menjabat ketua HMI lagi, dulu disanjung sanjung dan dipanggil sebutan ketua dan punya HP cantik dan sudah punya motor, Abu mulai lagi dari nol bekerja sebagai pembuat batako pekerjaan berat di bawah terik matahari tinggal tempat martua di tapung. Dari tanah dan semen, ia belajar bahwa hidup harus dibangun di atas fondasi yang kuat: kerja keras dan kejujuran.
Kemudian ia tak tahan cor semen dan balek lagi ke Pekanbaru. Tak membawa banyak bekal selain semangat dan doa. Di kota, ia mencoba berbagai pekerjaan, termasuk menjual koran di lampu merah. Kadang diabaikan, kadang dicaci dan sekali kali juga ikut mencaci. Tapi ia tak peduli hidup harus jalan terus.
Ia tahu, kemuliaan hidup bukan ditentukan oleh pekerjaan,
melainkan oleh kejujuran dalam menjalaninya.
Dari Penjual Koran Menjadi Jurnalis
Dari pekerjaan menjual koran, tumbuh kecintaannya pada dunia berita. Ia mulai menulis laporan kecil untuk media lokal dari kegiatan masyarakat hingga isu sosial.
Pena dan kamera menjadi sahabat setianya. Ia menyuarakan suara rakyat kecil, membela kebenaran, dan belajar bahwa pendidikan sejati adalah kehausan untuk terus belajar.
Tiga Kali Gagal Nyaleg
Suatu ketika, Abu ingin berbuat lebih banyak untuk masyarakat.
Ia maju sebagai calon legislatif.
Namun takdir berkata lain: tiga kali ia kalah.
Kekalahan pertama ia tanggapi dengan semangat. Kekalahan kedua ia lalui dengan doa.Kekalahan ketiga sempat menggoyahkan tekadnya. Tapi di balik air mata, ia menemukan hikmah:
“Mungkin bukan lewat kursi dewan aku berjuang, tapi lewat kemenag aku bisa menolong lebih banyak orang.”
Dari Batu Bara ke Mimbar Dakwah
Untuk bertahan hidup, Abu bekerja sebagai pengawas angkutan batu bara. Pekerjaan keras dan berisiko, tapi ia jalani dengan tanggung jawab. Di tengah debu tambang, ia tak lupa salat dan zikir.
Merantau mengajarkannya banyak hal  tentang sabar, ikhlas, dan arti syukur atas nikmat kecil.
Sampai akhirnya, Tuhan menjawab semua doanya.
Pasca gagal caleg Ia diangkat menjadi PPPK Kementerian Agama RI sebagai Penyuluh Agama Islam. Kini, ia berdiri di mimbar, bukan lagi memikul batako atau menjajakan koran, melainkan membimbing umat menuju kebaikan.
Pesan Kehidupan dari Abu Nazar
“Aku pernah membuat batako, menjual koran, menjual gorengan, dan tiga kali kalah nyaleg.
Tapi aku tak pernah kalah dari diriku sendiri. Karena selama napas masih ada, doa dan usaha tak boleh berhenti.” Abu Nazar, Penyuluh Agama Islam, PPPK Kemenag RI***MDn
 
                            
 
                                                         
                                                             
                                                             
                                                             
                            
                         
                            
                         
                            
                         
                            
                         
                            
                        