Oleh: Muhammadun, S. Sos
Juru Bicara LAN (Lembaga Adat Negeri)
Di negeri yang katanya kaya raya ini, rakyat kecil masih terus jadi penonton atas sumber daya yang ada di depan mata mereka sendiri. Riau adalah potret sempurna dari ironi tersebut. Ribuan hektare kebun sawit yang disita oleh negara melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) — karena dianggap berdiri di dalam kawasan hutan nyatanya bukan berakhir di tangan rakyat, melainkan dikembalikan ke genggaman segelintir elite, dengan bendera "pengelolaan negara".
Data Kementerian LHK mencatat, sekitar 1,2 Juta hektare sawit ilegal tersebar di Riau, masuk dalam kawasan hutan dan dinyatakan tidak memiliki izin usaha yang sah. Tapi pertanyaannya: setelah lahan itu disita, mengapa tidak dibagikan saja kepada rakyat miskin yang terdampak langsung? Kepada mereka yang sudah lama menggantungkan hidup dari tanah itu?
Kalau kekhawatiran negara adalah lahan akan diperjualbelikan jika diberikan kepada masyarakat, bukankah negara punya kekuasaan penuh untuk membuat regulasi yang ketat? Negara bisa menetapkan bahwa lahan tersebut hanya boleh dikelola, tidak bisa dijual. Bisa diatur agar hak kelola diberikan dengan syarat, misalnya: warga tidak boleh mengalihkan, harus ditanam komoditas tertentu, dan hasilnya dipantau melalui koperasi desa. Tapi tentu, ini hanya mungkin jika negara memang punya niat. Karena jika ada niat, selalu ada seribu cara untuk mensejahterakan rakyat.
Sebaliknya, yang kita saksikan hari ini adalah pengelolaan lahan oleh BUMN atau perusahaan "plat merah" seperti PT Agrinas, dengan pola-pola kemitraan yang justru tak berbeda jauh dari sistem kolonial lama: rakyat tetap tidak punya kuasa, hanya jadi buruh atau penerima remah hasil kebun.
Skema bagi hasil yang katanya berpihak pada petani, seperti 60:40 (untuk perusahaan dan rakyat), sesungguhnya jauh dari adil. Apalagi jika rakyat tak benar-benar dilibatkan dari awal, tidak transparan dalam penentuan mitra, dan tidak diberi ruang berunding dalam pengambilan keputusan.
Belum lagi munculnya oknum-oknum berkedok Agrinas yang menjual kembali lahan dalam bentuk KSO kepada pihak ketiga. Praktik semacam ini menambah luka dan memperjelas: bahwa lahan yang tadinya "disita demi hukum", kini hanya berpindah tangan ke kekuasaan baru dan sekali lagi, bukan ke rakyat.
Sementara itu, angka kemiskinan di Riau masih nyata. BPS mencatat lebih dari 400 ribu jiwa hidup di bawah garis kemiskinan, terutama di kawasan pedesaan. Bayangkan jika lahan yang disita negara itu dibagikan dan dikelola langsung oleh warga miskin, melalui koperasi, BUMDes, atau skema pertanian rakyat berbasis komunitas. Berapa banyak keluarga yang bisa keluar dari jeratan kemiskinan?
Tapi lagi-lagi, rakyat hanya jadi tontonan. Hutan disita, sawit ditumbangkan, rakyat disuruh minggir. Negara hadir tapi tidak untuk rakyat.
Penutup
Sudah waktunya kita bertanya keras: untuk siapa negara ini sebenarnya bekerja? Kalau negara memang berniat menyejahterakan rakyat, maka membagikan lahan kepada rakyat miskin adalah jalan paling logis dan adil. Jika takut disalahgunakan, buatlah aturan yang adil dan tegas. Tapi jika yang dilakukan justru menyerahkan kembali ke tangan elite dan perusahaan, maka yang terjadi bukan reforma agraria, tapi reproduksi ketimpangan.
Rakyat Riau sudah terlalu lama menjadi korban dari sistem yang tidak pernah benar-benar berpihak. Dan jika suara mereka terus diabaikan, maka tak lama lagi, perlawanan akan menemukan bentuknya sendiri.***rls
#satgas PKH #Sawit riau #Agrinas