Tangis Bunga di Balik Aplikasi Hijau: Kisah Pilu Anak di Bawah Umur yang Terjual dalam Diam

Tangis Bunga di Balik Aplikasi Hijau: Kisah Pilu Anak di Bawah Umur yang Terjual dalam Diam

PEKANBARU– WARTA RAKYAT ONLINE, Di balik gemerlap kota Pekanbaru, ada jeritan yang tak terdengar. Jeritan seorang anak di bawah umur kita sebut saja namanya Bungayang terpaksa menjual tubuhnya demi sesuap nasi. Kisahnya bukan fiksi, bukan pula cerita lama. Ini adalah realitas pahit yang terjadi di depan mata kita, di tengah pesatnya kemajuan teknologi. 

Saya Tidak Punya Pilihan, Kak.
Bunga (bukan nama sebenarnya), 16 tahun, mengaku mulai terjerumus ke dunia prostitusi online setelah himpitan ekonomi menghancurkan masa depannya. Dengan suara bergetar, ia bercerita kepada kakaknya, Sukma bagaimana dirinya dan ratusan remaja lain di Pekanbaru menjadi "komoditas" di aplikasi pesan singkat berwarna hijau MiChat

"Awalnya cuma iseng buat cari uang jajan. Tapi sekarang, saya seperti terperangkap," ujarnya, matanya sembap. 

Hotel-Hotel yang Menjadi Saksi Bisu
Bunga dan teman-temannya biasa "bekerja" di kos-kosan kumuh di Jalan Taskurun  atau hotel-hotel murah seperti Hotel Parma, Hotel Sabrina, dan Holitel Tarifnya? Rp350.000–Rp500.000 per jam tergantung negosiasi. 

Tapi yang lebih memilukan, Bunga mengungkap bahwa mereka harus "menyetor" sebagian uangnya kepada preman dan oknum Satpol PP  yang seharusnya melindungi mereka. 

"Kalau tidak setor, kami bisa diusir atau malah dilaporkan," katanya, lesu. 

Anak-Anak yang Terlupakan
Mayoritas korban adalah remaja dari luar Pekanbaru seperti Medan dan Sumatera Barat yang datang dengan mimpi mencari kerja, tapi malah terjebak dalam lingkaran setan. Mereka hidup dalam ketakutan: takut ditangkap, takut dihakimi, tapi juga takut kelaparan. 

"Banyak dari kami masih ingin sekolah, masih ingin punya masa depan. Tapi siapa yang peduli?" tanya Bunga, suaranya hampir tak terdengar. 

Jeritan yang Tak Didengar
Sukma, sang kakak, hanya bisa menangis melihat adiknya terjebak. Ia berusaha melapor ke pihak berwajib, tapi tidak ada tindakan nyata

"Mereka bilang ini kasus rumit. Tapi bagi saya, ini darurat. Ini tentang nyawa anak-anak!" protes Sukma, frustasi. 

Kita Bisa Apa?
Kasus Bunga bukanlah yang pertama, dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir. Selama kemiskinan, ketidakadilan, dan impunitas masih ada, anak-anak seperti Bunga akan terus menjadi korban. 

Mereka berteriak, tapi dunia memilih tuli
Mereka menangis, tapi tak ada yang melihat.

Dan di balik layar ponsel, di balik aplikasi hijau itu, masa depan mereka perlahan terkubur***mdn

#Pekanbaru Darurat Moral #Aplikasi Hijau Pekanbaru