Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
_________
Di tengah derasnya perkembangan zaman, yang mengutamakan kecepatan dan hasil instan, kecenderungan manusia untuk terperangkap dalam pola pikir jangka pendek (short-term thinking) semakin nyata terlihat dalam berbagai aspek kehidupan. Pola pikir ini bukan sekadar pilihan hidup pragmatis, tetapi merupakan refleksi dari persoalan psikologis yang lebih dalam. Individu yang berpikir sempit hanya terfokus pada keuntungan sesaat, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang mungkin timbul.
Dalam kajian Psikologi Islam, fenomena ini terkait dengan nafs al-ammarah, yaitu dorongan jiwa yang mengarahkan manusia pada kesenangan duniawi secara instan, tanpa memperdulikan konsekuensi moral atau balasan di akhirat nanti. Orang yang terjebak dalam nafs al-ammarah akan kehilangan arah hidupnya, lalai dari tujuan hakiki, dan hidup dalam keadaan ghaflah (kelalaian spiritual). Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati yang dipenuhi oleh dorongan nafsu rendah (nafs al-ammarah) akan kehilangan cahaya hidayah, sehingga arah hidupnya pun sempit dan dangkal. Dengan kata lain, manusia yang gagal mengendalikan hawa nafsunya akan terus terperangkap dalam kepuasan sesaat.
Dalam kerangka psikologi kognitif, pemikiran jangka pendek dipahami sebagai hasil dari distorsi pemikiran seperti present bias dan hyperbolic discounting, di mana seseorang lebih mengutamakan kepuasan sesaat daripada keuntungan masa depan yang lebih besar. Daniel Kahneman menyebutnya sebagai kecenderungan untuk berpikir cepat, dengan mengabaikan refleksi dan pertimbangan mendalam.
Kecenderungan berpikir pendek muncul akibat gangguan dalam proses kognitif, terutama ketika fungsi pengendalian diri (self-regulation) tidak bekerja secara optimal. Secara neurologis, manusia secara alami lebih mudah tergoda oleh kesenangan cepat karena dominasi sistem limbik yang mendorong respons emosional, dibandingkan dengan prefrontal cortex yang bertugas merancang keputusan rasional dan jangka panjang.
Secara biologis otak manusia memang lebih responsif terhadap ganjaran sesaat. Korteks prefrontal yang bertugas mengendalikan perencanaan dan pengendalian diri baru berkembang sepenuhnya pada awal masa dewasa. Namun, faktor lingkungan juga memegang peranan penting. Budaya digital, media sosial, dan gaya hidup konsumtif memperkuat kecenderungan untuk berpikir secara instan dan mengabaikan dampak jangka panjang.
Baik psikologi Islam maupun modern, sepakat bahwa inti permasalahan ini adalah lemahnya pengendalian diri. Dalam psikologi kontemporer dikenal dengan istilah self-regulation, sedangkan dalam Islam disebut mujahadah al-nafs, yakni perjuangan spiritual untuk menundukkan hawa nafsu duniawi.
Individu yang berpikir jangka pendek cenderung mengambil keputusan secara reaktif, pragmatis, dan impulsif. Albert Bandura dengan teori self-efficacy nya menegaskan, bahwa orang yang memiliki keyakinan rendah terhadap kemampuannya dalam mengendalikan masa depan, akan mudah tergoda oleh kepuasan jangka pendek. Dari sudut pandang Islam, Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya pendidikan akhlak agar akal, hawa nafsu, dan jiwa tetap seimbang. Tanpa keseimbangan itu, orientasi hidup manusia menjadi sempit, hanya terfokus pada dunia.
Gejala pemikiran jangka pendek dapat terlihat jelas dalam berbagai sisi kehidupan. Dalam pemerintahan, praktik korupsi dan curang kerap terjadi karena dorongan meraih kekayaan secara instan tanpa memikirkan dampak hukum dan moral di masa depan. Hal serupa tampak dalam budaya konsumtif, di mana sebagian orang membeli barang mewah demi gengsi sosial, bukan kebutuhan nyata, hingga akhirnya terjebak dalam ketidakstabilan finansial.
Di dunia pendidikan, banyak yang hanya mengejar nilai akademis atau gelar, tanpa memahami hakikat ilmu yang dipelajari. Bahkan, beberapa lembaga pendidikan terjebak dalam ambisi meraih akreditasi dan sertifikasi, namun mengabaikan kualitas pembelajaran.
Lebih jauh lagi, perilaku maksiat seperti zina, mabuk-mabukan, perjudian, dan penyalahgunaan narkoba juga mencerminkan dorongan mencari kenikmatan sesaat tanpa memikirkan kerusakan diri sendiri dan lingkungannya. Dalam Psikologi Islam, perilaku ini merupakan bentuk dominasi nafs al-ammarah yang menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual dan tujuan hidup yang lebih mulia.
Semua contoh di atas menunjukkan satu hal: orientasi hidup yang hanya mengejar kesenangan cepat, akan menjerumuskan manusia pada kerugian jangka panjang, baik secara moral, spiritual, maupun sosial.
Dari sudut pandang Islam, akar permasalahan ini disebut sebagai ghaflah, yaitu kelalaian hati dari tujuan hidup yang sebenarnya. Al-Qur'an dalam QS. Surat Al-Hashr: 19 memperingatkan manusia agar tidak menjadi hamba yang melupakan Allah, karena kelalaian tersebut akan membuat manusia melupakan hakikat dirinya sendiri.
Dalam perspektif Psikologi Modern, beberapa strategi penting dapat diterapkan untuk mengatasi kecenderungan berpikir jangka pendek. Salah satunya adalah mengasah kemampuan pengendalian diri melalui latihan perilaku, agar seseorang terbiasa menahan dorongan instan dan lebih mampu memilih tindakan yang tepat secara sadar. Melalui latihan ini, individu didorong untuk menunda kepuasan sesaat demi hasil yang lebih baik di kemudian hari.
Selain itu, terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berperan besar dalam membantu seseorang membentuk pola pikir yang lebih positif dan rasional. CBT membantu mengoreksi cara berpikir yang keliru dan menggantinya dengan pemahaman baru yang lebih seimbang, sehingga keputusan yang diambil tidak lagi bersifat impulsif.
Selanjutnya, menumbuhkan kesadaran diri atau self-awareness menjadi langkah penting agar seseorang mampu merespons situasi secara tenang dan penuh pertimbangan, bukan sekadar bereaksi cepat karena dorongan emosi. Kesadaran diri ini membuat individu lebih peka terhadap dampak jangka panjang dari tindakannya.
Selanjutnya, menentukan tujuan hidup yang jelas dan bermakna, untuk membantu seseorang membangun orientasi masa depan. Dengan adanya target yang terukur, seseorang terdorong untuk berpikir lebih jauh ke depan, bukan sekadar mengejar manfaat dan kenikmatan sesaat.
Dalam Psikologi Islam, solusi menghadapi pemikiran jangka pendek berpusat pada penguatan aspek spiritual. Salah satu caranya adalah melalui tazkiyah al-nafs, yaitu membersihkan jiwa dari dorongan buruk melalui ibadah dan perenungan diri yang mendalam. Proses ini bertujuan mengembalikan hati pada fitrahnya yang suci.
Selain itu, terdapat riyadhah al-nafs, yakni latihan spiritual seperti puasa dan dzikir yang melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu dan menahan keinginan sesaat. Praktik ini menjadi sarana penguatan mental agar seseorang lebih mampu mengontrol dirinya.
Kesadaran akan kehidupan akhirat juga menjadi fondasi penting. Dengan memahami bahwa hidup di dunia bersifat sementara, manusia terdorong untuk tidak terperangkap dalam keinginan sesaat yang menyesatkan.
Sebagai pelengkap, sikap sabar dan syukur menjadi perisai menghadapi godaan dunia. Kesabaran menguatkan hati untuk menahan diri, sedangkan rasa syukur membentuk kepuasan batin terhadap nikmat yang telah dimiliki, sehingga terhindar dari sikap serakah.
Perbedaannya, psikologi modern menekankan pentingnya berpikir jauh untuk membangun kualitas hidup duniawi yang lebih baik, sedangkan Islam mengajarkan orientasi berpikir jangka panjang untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Namun, fungsi keduanya tetap sejalan: membantu manusia agar tidak menjadi budak hawa nafsu dan tidak terjerumus dalam kenikmatan sesaat.
Pemikiran jangka pendek bukan sekadar keterbatasan intelektual, tetapi cerminan kelemahan spiritual dan moral. Tantangan terbesar bagi generasi saat ini bukan sekadar bagaimana berpikir cepat, tetapi bagaimana berpikir mendalam. Bukan sekadar cerdas secara akademis, tetapi sadar secara eksistensial.
Psikologi modern memberi kita perangkat untuk melatih otak agar dapat mengambil keputusan yang lebih bijak, sedangkan Psikologi Islam memberi kita makna hidup agar keputusan yang diambil berorientasi pada kebahagiaan abadi.
Dalam dunia digital sekarang ini, kita begitu mudah menemukan orang yang mampu berpikir cepat, namun tidak banyak yang benar-benar mampu berpikir secara mendalam dan bijaksana. Jika manusia terus-menerus mengejar yang serba instan, tanpa pertimbangan jangka panjang, sesungguhnya mereka sedang menyiapkan masa depan yang rapuh, dangkal, dan jauh dari keberlanjutan sejati, karena masa depan yang kokoh hanya bisa dibangun oleh pikiran yang sabar, sadar, dan terarah.
_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.
#Short Term Thinking