Algoritma Sebagai Tuhan Baru: Saat Pikiran Kita Dijajah dengan Hiburan

Algoritma Sebagai Tuhan Baru: Saat Pikiran Kita Dijajah dengan Hiburan

Di era digital hari ini, algoritma bukan lagi sekadar alat bantu pencarian atau pemetaan preferensi. Ia telah berevolusi menjadi entitas yang jauh lebih berkuasa—penentu arah emosi, pembentuk opini, dan bahkan penyaring realitas. Saat kita menyamakan scroll dengan riset dan menjadikan For You Page (FYP) sebagai kitab suci, kita secara tak sadar telah memberikan kendali penuh atas atensi dan persepsi kita kepada sistem yang tidak memiliki nurani, hanya data.

Platform seperti TikTok menunjukkan bagaimana algoritma telah memperpendek jarak antara stimulus dan reaksi, menciptakan generasi refleks tanpa refleksi. Berdasarkan data dari Sensor Tower dan DataReportal, lebih dari 60% konten di TikTok berisi luapan emosi seperti marah, sedih, atau tertawa, bukan argumen atau substansi. Inilah cerminan era "mental popcorn"—cepat meledak, cepat hilang, dan miskin kedalaman.

Instagram tak kalah memprihatinkan. Berdasarkan riset Pew Research Center, mayoritas penggunanya mengalami distorsi citra diri dan sindrom FOMO. Di sini, estetika menjadi kredensial utama. Muka licin lebih divalidasi ketimbang isi kepala. Kita telah masuk ke era “estetikaisme buta” di mana selfie lebih viral ketimbang self-awareness.

Sementara itu, Facebook menjadi ladang subur bagi hoaks. Data dari MIT Media Lab menunjukkan bahwa hoaks menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran. Komentar berubah menjadi ring tinju antar asumsi, dan demokrasi direduksi menjadi kebisingan kolektif yang miskin substansi.

Di Twitter (kini X), opini ekstrem sering kali disamakan dengan kejujuran. Bukan karena ia relevan, tetapi karena volumenya keras. Selamat datang di ekonomi amarah, tempat logika dikorbankan demi klik dan keterlibatan instan.

YouTube masih memiliki ruang untuk kedalaman, tapi ia tak kebal dari tsunami algoritma. Edukasi sering terkubur oleh prank dan drama receh. Kita punya waktu satu jam untuk menonton, tapi tidak punya lima menit untuk merenung.

Fenomena ini juga menjangkiti podcast dan konten reaction. Podcast kini sering hanyalah retorika kosong yang dibungkus seolah mendalam. Sementara konten reaction adalah refleksi kosong yang hanya mengulang isi konten lain, menumpang pada popularitas orang lain.

Ketika kritik dianggap serangan dan opini tajam dianggap arogansi, maka kita menyaksikan akal sehat kehilangan habitatnya. Ini bukan lagi tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling viral. Dan celakanya, semua ini terjadi tanpa paksaan. Penjajahan di era ini tidak perlu senjata. Cukup ciptakan kenyamanan dalam kebodohan yang kita anggap sebagai hiburan.

Kesimpulan:

Bangsa ini memang harus maju. Anak muda memang harus cerdas. Tapi kecerdasan tak akan lahir dari algoritma yang memanjakan, melainkan dari kesadaran yang dilatih untuk melawan. Melawan malas berpikir, melawan candu validasi, dan melawan ilusi bahwa hiburan adalah kebenaran. Jika tidak, kita hanya akan menjadi generasi algoritmik yang ramai di permukaan, tapi kosong di kedalaman.

OLEH : MUHAMMADUN, S. Sos

#Media Sosial #Bahaya Media Sosial