Warga Bongkar Skandal Penguasaan Lahan di Sungai Sarik: Mantan Kades dan Oknum Perangkat Desa Diduga Terlibat

Warga Bongkar Skandal Penguasaan Lahan di Sungai Sarik: Mantan Kades dan Oknum Perangkat Desa Diduga Terlibat

WARTA RAKYAT ONLINE. - Sungai Sarik ,Sebuah skandal besar terkait penguasaan lahan secara ilegal mencuat di Desa Sungai Sarik. Warga mengungkap dugaan penipuan yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, melibatkan mantan kepala desa, perangkat desa, hingga seorang guru PNS. Kasus ini diduga menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan berpotensi melanggar sejumlah pasal pidana.

Modus Kejahatan: Janji Manis yang Berujung Penguasaan Lahan

Kasus ini bermula pada periode 2008-2015, ketika perangkat desa diduga mengumpulkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga dengan alasan akan diberikan lahan kelompok tani. Namun, janji tersebut tak pernah terealisasi.

Pada tahun 2011-2012, terjadi pembukaan lahan besar-besaran di seberang kampung lama Sungai Setingkai. Lahan tersebut justru dikuasai oleh Bogan dan kelompoknya. Kecurigaan warga semakin kuat karena tidak ada transparansi mengenai pengelolaan lahan tersebut.

Tahun 2015, modus serupa kembali terjadi. Warga kembali diminta menyerahkan KK dan KTP dengan janji akan mendapatkan kebun aren seluas dua hektare per orang. Namun, hingga bertahun-tahun berlalu, kebun aren yang dijanjikan tak pernah ada.

Puncak Penipuan: Lahan Dijual ke Pengusaha, Warga Melawan

Pada tahun 2022, skandal ini mencapai puncaknya. Warga melaporkan bahwa oknum desa mulai menjual lahan kepada pengusaha. Kali ini, mereka kembali berupaya mengumpulkan KK dan KTP warga sebagai syarat administrasi. Namun, warga yang sudah curiga menolak menyerahkan dokumen mereka.

Dugaan praktik kejahatan ini semakin jelas ketika diketahui bahwa kepala desa saat itu diduga bekerja sama dengan kepala sekolah SD Negeri Sungai Sarik untuk mengumpulkan KK dan KTP warga melalui anak-anak sekolah. Dalam waktu satu bulan, dana hasil penjualan lahan pun cair.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, setiap oknum di tingkat bawah menerima sekitar Rp100 juta, sementara pihak yang lebih tinggi diduga meraup keuntungan hingga miliaran rupiah. Total luas lahan yang dijual mencapai 2.500 hektare.

Siapa Saja yang Terlibat?

Warga mencurigai bahwa hampir seluruh aparat desa, mulai dari RT hingga kepala desa, turut serta dalam praktik ini. Seorang guru PNS bahkan diduga membantu kelancaran aksi kepala desa karena masih memiliki hubungan keluarga dengannya.

Mantan Kepala Desa Sungai Sarik, Nasrul, menjadi salah satu figur yang paling disorot dalam kasus ini. Warga menuding bahwa ia jarang berada di desa kecuali saat pencairan dana desa atau transaksi lahan.

Masyarakat yang telah tinggal di Sungai Sarik sejak 2006, khususnya dari suku Jawa dan Batak, diyakini memiliki banyak informasi tentang praktik ini. Mereka kini menuntut agar aparat penegak hukum segera turun tangan untuk mengusut kasus ini secara menyeluruh.

Tuntutan Warga dan Dampak Lingkungan

Skandal ini tidak hanya merugikan warga secara ekonomi, tetapi juga berpotensi berdampak pada lingkungan. Wagimin, juru bicara Komunitas Pecinta Alam Riau (Kopari), menegaskan bahwa praktik penguasaan lahan ilegal seperti ini harus segera dihentikan.

"Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap kelestarian alam dan keberlanjutan kehidupan di Riau, kami mendukung penuh upaya pengusutan kasus ini. Praktik semacam ini tidak hanya merugikan warga, tetapi juga berdampak negatif pada ekosistem dan keberlanjutan alam kita," ujar Wagimin.

Ia juga menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat harus diusut tuntas, baik yang berada di level desa maupun pihak yang lebih tinggi. "Keadilan harus ditegakkan demi masa depan Riau yang lebih baik," tambahnya.

Potensi Jerat Hukum: Hukuman Berat Menanti Para Pelaku

Dugaan kejahatan ini berpotensi melanggar sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang lainnya, antara lain:

1. Pasal 372 KUHP (Penggelapan): Jika terbukti ada penggelapan lahan yang dijanjikan kepada warga tetapi dikuasai oleh pihak tertentu, pelaku bisa dijerat dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun.

2. Pasal 378 KUHP (Penipuan): Jika pengumpulan KK dan KTP dilakukan dengan janji palsu untuk mendapatkan lahan, tetapi ternyata digunakan untuk kepentingan lain, pelaku bisa dipenjara hingga 4 tahun.

3. Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Dokumen): Jika ditemukan pemalsuan data dalam transaksi jual beli lahan, ancaman hukuman mencapai 6 tahun penjara.

4. Pasal 55 dan 56 KUHP (Penyertaan dalam Tindak Pidana): Jika pejabat desa atau pihak lain membantu dalam kejahatan ini, mereka bisa dihukum dengan sanksi yang sama dengan pelaku utama.

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU): Jika hasil penjualan lahan digunakan untuk menyamarkan asal-usul kekayaan, pelaku bisa dijerat hukuman penjara hingga 20 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

6. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Jika pejabat desa menyalahgunakan kewenangan dalam pengelolaan lahan atau dana desa, ancaman hukuman penjara berkisar antara 4 hingga 20 tahun, dengan denda maksimal Rp1 miliar.

Harapan Masyarakat: Keadilan Harus Ditegakkan

Dengan berbagai bukti dan kesaksian yang semakin kuat, masyarakat berharap agar aparat penegak hukum segera mengambil tindakan tegas. Warga menuntut penyelidikan yang transparan dan memastikan semua pihak yang terlibat mendapatkan hukuman setimpal.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa penyalahgunaan wewenang di tingkat desa bisa berdampak luas, baik terhadap kesejahteraan warga maupun keberlanjutan lingkungan. Warga Sungai Sarik kini menunggu jawaban dari pemerintah dan aparat hukum: akankah keadilan benar-benar ditegakkan?**red

 

 

#Mafia Lahan #Kebun Sawit Ilegal